Nata Praja Kusumaning Bangsa

"Hai orang-orang yang beriman, Bertaqwalah kalian kepada Allah dengan (wasilah) mengatakan perkataan yang meneguhkan (hati). (Dan jika kalian telah memenuhi hal tersebut) maka niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal perbuatan kalian dan akan mengampuni bagi kalian dosa kesalahan kalian. Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka dia akan mendapat kemenangan yang agung" (QS. Al Ahzab 70-71)

Puasa Lelaku, Sarana “Orang Jawa” Mendapatkan Keinginannya


  1. Apa Puasa laku itu?

Puasa, sudah tidak asing lagi orang dimanapum berada untuk mendengarkan kata-kata ini. Dalam pemahaman manapun, puasa selalu dihubungkan dengan penahanan diri.

Puasa dalam etimologi jawa berasal dari bahasa sansekerta. Upa dan wasa, upa berarti pertalian dan wasa berarti wewenang/kekuasaan. Artinya adalah menalikan diri untuk mendapatkan kewenangan tertentu missal ajian dsb. Dalam khasanah jawa, tembung puasa atau Pasa dapat disanepankan (ibaratkan) “Ngeposne Rasa”, atau memberhentikan rasa. Oleh karena itu orang puasa itu tidak hanya dipandang menahan makan, tapi juga menahan syahwat, pandangan, perasaan, kecintaan, maupun penahanan yang lain.

Di dalam tembung Dasanama (Buku Primbon Ajimantrawala) dijelaskan bahwa Pasa = Panas = Tapas = Tapa = Anyiksa Badan. Maka orang berpuasa selalu mengeluarkan panas dari tubuh, seperti halnya orang yang melakukan tapa atau samadi dan orang tapa itu cenderung menyiksa badan yaitu tidak makan, minum, syahwat, urusan dunia dan lainnya. Jadi orang yang berpuasa slalu identik dengan bertapa. Namun, upah apa yang didapatkan? Berpuasa dalam khasanah jawa ini slalu mengantarkan bahwa setiap perbuatan selalu mendapatkan atau menuai (dalam bahasa ingrris dikenal dengan The Law of Harvest).

Dalam kamus English disebutkan bahwa puasa mempunyai bahasa yang bernama “fasting”, artinya mempercepat. Dan dalam bahasa arab disebut dengan istilah “shaum” atau “Shiam”. Dalam konteks beragama islam, puasa diartikan sebagai proses menahan diri dari makan dan minum serta nafsu mulai terbit matahari sampai tenggelamnya matahari. Namun, agak berbeda dengan pemahaman jawa yang secara turun temurun diajarkan mulai perkembangan agama budha dan hindu. Bahwasanya puasa adalah menjalani ritual tertentu untuk mendapatkan pertalian yang diinginkan. Biasanya kalau makan hanya tengah malam (jam 12 malam saja). Dan sejak ajaran islam dating, maka mulai ada Akulturasi budaya bagi orang jawa bahwa boleh melakukan puasa dan makan ketika matahari sebelum terbit dan tenggelam, dengan hasil laku yang diinginkan. Hal ini muncul sejak zaman Sunan Kalijaga sekitar tahun 1400 saka.

Lelaku atau biasa disebut laku, dalam kamus Sansekerta artinya jalan, atau menjalankan. Laku disini berarti memperoleh sesuatu demi tercapainya tujuan tertentu. Biasanya, bagi orang jawa puasa laku lebih pada kegiatan untuk memperoleh sesuatu dan berupa kekuatan spiritual. Oleh karenanya, puasa laku adalah suatu sikap atau cara prihatin orang jawa untuk mendapatkan sesuatu. Secara sadar maupun tidak sadar, orang jawa beranggapan bahwa setiap kita mempunyai keinginan tertentu maka perlu dibarengi dengan sarana sesuatu atau sarana Laku.

  1. Apa manfaat dari pada puasa laku?

Sebagaimana diketahui bahwa manfaat dari puasa laku sangat banyak dan beragam. Bahkan setiap orang yang menjalani berbeda-beda pun juga mendapatkan hasil yang berbeda. Kenapa demikian? Karena tampungan dari dimensi setiap orang itu berbeda-beda dan setiap orang mengalami pengalaman metafisik yang berbeda-beda. Dan yang paling penting, puasa lelaku akan didapatkan hasil sesuai dengan keinginan (baca:Niat) dari masing-masing yang melakukannya.

Misalkan ada yang melakukan puasa laku sebagai sarana untuk mendapatkan Aji Jaya Kawijayan (Kanuragan dan Kadigdayaan). Ada pula yang hanya untuk menjcari kewaskitaan. Ada untuk mencari kadigdayaan. Serta ada pula yang menjalankan laku hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Gusti ingkang Murbeng Dumadi. Dari sini dapat dilihat bahwasanya melakukan puasa semacam ini akan menimbulkan sesuatu hal sesuai keinginannya.

  1. Apakah ada efek samping/ pantangan dari puasa laku?

Sebenarnya, setiap kita melakukan suatu perbuatan pasti selalu menimbulkan efek samping. Yaitu efek ke positif dan efek ke negatif. Sama seperti puasa, kalo memang dari niatnya sudah positif maka hasil yang didapatkan pun juga positif, dan sebaliknya. Dari sejarah adanya puasa lakupun bisa dilihat bahwa jika sebelum di akulturasikan dengan budaya islam, maka pelaksanaan puasa laku masih pada bantuan kekuatan dari alam lain seperti Jin, Perewangan, Khodam, dsb. Ketika islam masuk, sudah banyak perombakan dan menghilangkan sarana yang menuju selain pada Allah. Tapi walaupun umat islam sendiri kadang masih banyak hidupnya yang mengizinkan untk tetap dibantu oleh Khodam, Jin, dsb.

Makanya dari sini kita bisa melihat, bahwa puasa laku slalu dilihat dari niat, dengan Syarat dan ketentuan berlaku.

Kisah nyata, pernah teman puasa mutih 40 hari. Dengan sholat tetap teratur. Dan hasilnya pun justru positif. Lebih pada memperbesar dan menghaluskan energy dalam diri. Ada pula teman saya pernah nglowong 3hri, dengan tujuan Kadigdayan, di hari ketiga dia mendapat wisikan ghaib untuk keluar rumah menuju dekat kali. Dan ternyata dia menemukan pusaka berupa keris yang muncul dari tanah seperti muncul begitu saja dengan cahaya yang bersinar.

Pernah pula teman berpuasa mutih 3 hari, juga mendapat hasil yang luar biasa hebatnya. Ini disebabkan ada pengaruhnya juga dengan tujuan dari masing-masing individu. Tetapi yang banyak saya jumpai, biasanya efek yang ditimbulkan slalu kearah positif.

  1. apa saja jenis dari puasa laku?

Puasa mutih. Adalah puasa dengan syarat hanya minum air putih dan nasi putih, dengan syarat dan ketentuan berlaku. Kadang ada 3hari, 7hari, maupun 40hari. Puasa mutih lebih membawa pada penempaan atau pembentukan energy baru di tubuh manusia.

Puasa Nglowong. Tidak makan dan tidak minum sama sekali, namun untuk menjaga esensi puasa maka diperbolehkan waktu sahur dan berbuka minum air saja. Boleh tidur sebentar.

Puasa Ngebleng. Yaitu puasa yang hanya di kamar saja. Tidak boleh kena sinar matahari maupun menyalakan lampu. Terpaksa boleh keluar kamar hanya pas kebelet di kamar mandi dan wudhu.

Puasa Kungkum. Berendam di air, hanya kepala yang Nampak. Waktu malam tertentu dan hanya 1 jam saja. Dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Patigeni. Sebagai puasa penutup dari puasa laku.

Dan masih banyak lagi jenis-jenis puasa yang tidak bisa saya ceritakan panjang lebar disini dan bisa dipakai untuk penelitian dan pengembangan di masa Modern seperti ini.

  1. Apa sarana (syarat) dalam menjalankan puasa laku?

Tergantung dari syarat yang diajukan dalam setiap laku, puasa mempunyai sarana yang berbeda-beda. Asalkan paham betul apa yang akan dilakukannya. Persis seperti Nasehat Sunan Kalijaga dalam pupuh Durma (no.17) di Suluk LingLung, Syeh Malaya;

Aja lunga yen tan weruh kang pinaranan, lan aja mangan ugi, yen tan wruh rasanya, rasane kang pinangan, aja nganggo-nganggo ugi, yen during wruha arane busana di”.

Artinya:

Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju, dan jangan makan juga, kalau belum tahu rasanya, rasanya yang dimakan, jangan berpakaian juga, kalau belum tahu kegunaan berpakaian”.

Oleh karena itu, setiap melakukan puasa Laku hendaklah mengetahui betul apa yang akan terjadi setelahnya nanti, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mendapatkan hasil di masa depan.

  1. Sebenarnya, inti puasa orang jawa itu apa?

Sura Dira Jaya Ningrat, Lebur Dening Pangastuti. Sekuat-kuatnya manusia maka masih luluh dengan pengampunan. Ada yang mengartikan bahwa luluh dengan Rendah hati.

Artinya apa? Bahwa ajaran jawa tertinggi dalam menjalani hidup bukan terletak pada saktinya kita. Namun terletak pada bagaimana kita bisa menempatkan diri kita sesuai situasi dengan tetap rendah ahati. Karna orang rendah hati akan malah dijunjung derajatnya oleh orang sekitar.

Tidaklah heran, jika di zaman sekarang ini jika masih ada yang mengaku “Sakti” maka masih dianggap belum cukup dalam menjalankan Laku Puasanya. Karena istilah jawa bilang hal itu masih Gembar-Gembor dan Gumedhe. Justru laku tertinggi adalah bagaimana kita sakti tanpa ada orang yang tahu dan diri kita tetap seperti karakter masa lalu, yaitu tetap menjadi manusia biasa apa adanya. Karena segala hal yang pernah kita dapatkan itu, hanya titipan dari Sang Hyang Wisesa dan sutu saat pun kita akan bertanggung jawab terhadap apa yang kita dapatkan.

Ngluruk tanpa bala,

Menang tanpa Ngasorake.. (Kitab Sabdo palon)

  1. Kesimpulan apa dari semua ini?

Ngelmu iku, kalakone kanthi laku.

Lekase lawan khas.

Tegese khas nyantosani.

Sedya buda pangekesing dur angkara.” (Serat Wedhatama)

Artinya:

Ngelmu itu didapatkan dengan cara laku.

Permulaannya dengan khusus.

Artinya khusus sangat sentosa.

Karena semua hal yang terpuji akan mengikis kemurkaan.

Ki Enthung

SEJARAH BATIK INDONESIA

Jaman Majapahit

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulungagung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulungagung adalah riwayat perkembangan pembatikan di daerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahit, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.

Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari, Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila tom, tinggi dan sebagainya.

Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi, pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.

Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran Diponegoro tahun 1825.

Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulungagung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.

Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.

Jaman Penyebaran Islam

Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo, yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini. Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah. Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.

Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi menantu oleh raja Kraton Solo.

Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo. Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang kepamongan dan agama.

Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas. Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.

Batik Solo dan Yogyakarta

Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan 19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.

Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.

Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak kerajaan Mataram ke-I dengan raj any a Panembahan Senopati. Daerah pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.

Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo, Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.

Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro mengembangkan batik.

Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung. Selain itu juga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.

Perkembangan Batik di Kota-kota lain

Perkembangan batik di Banyumas berpusat di daerah Sokaraja dibawa oleh pengikut-pengikut Pangeran Diponegero setelah selesa-inya peperangan tahun 1830, mereka kebanyakan menet-ap didaerah Banyumas. Pengikutnya yang terkenal waktu itu ialah Najendra dan dialah mengembangkan batik celup di Sokaraja. Bahan mori yang dipakai hasil tenunan sendiri dan obat pewama dipakai pohon tom, pohon pace dan mengkudu yang memberi warna merah kesemuan kuning.

Lama kelamaan pembatikan menjalar pada rakyat Sokaraja dan pada akhir abad ke-XIX berhubungan langsung dengan pembatik didaerah Solo dan Ponorogo. Daerah pembatikan di Banyumas sudah dikenal sejak dahulu dengan motif dan wama khususnya dan sekarang dinamakan batik Banyumas. Setelah perang dunia kesatu pembatikan mulai pula dikerjakan oleh Cina disamping mereka dagang bahan batik. .

Sama halnya dengan pembatikan di Pekalongan. Para pengikut Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini kemudian mengembangkan usaha batik di sekitara daerah pantai ini, yaitu selain di daerah Pekalongan sendiri, batik tumbuh pesat di Buawaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Adanya pembatikan di daerah-daerah ini hampir bersamaan dengan pembatikan daerah-daerah lainnya yaitu sekitar abad ke-XIX. Perkembangan pembatikan didaerah-daerah luar selain dari Yogyakarta dan Solo erat hubungannya dengan perkembangan sejarah kerajaan Yogya dan Solo.

Meluasnya pembatikan keluar dari kraton setelah berakhirnya perang Diponegoro dan banyaknya keluarga kraton yang pindah kedaerah-daerah luar Yogya dan Solo karena tidak mau kejasama dengan pemerintah kolonial. Keluarga kraton itu membawa pengikut-pengikutnya kedaerah baru itu dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk pencaharian.

Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya. Pekalongan khususnya dilihat dari proses dan designya banyak dipengaruhi oleh batik dari Demak. Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.

Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini. Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula.

Sedang pembatikan dikenal di Tegal akhir abad ke-XIX dan bahwa yang dipakai waktu itu buatan sendiri yang diambil dari tumbuh-tumbuhan: pace/mengkudu, nila, soga kayu dan kainnya tenunan sendiri. Warna batik Tegal pertama kali ialah sogan dan babaran abu-abu setelah dikenal nila pabrik, dan kemudian meningkat menjadi warna merah-biru. Pasaran batik Tegal waktu itu sudah keluar daerah antara lain Jawa Barat dibawa sendiri oleh pengusaha-pengusaha secara jalan kaki dan mereka inilah menurut sejarah yang mengembangkan batik di Tasik dan Ciamis disamping pendatang-pendatang lainnya dari kota-kota batik Jawa Tengah.

Pada awal abad ke-XX sudah dikenal mori import dan obat-obat import baru dikenal sesudah perang dunia kesatu. Pengusaha-pengusaha batik di Tegal kebanyakan lemah dalam permodalan dan bahan baku didapat dari Pekalongan dan dengan kredit dan batiknya dijual pada Cina yang memberikan kredit bahan baku tersebut. Waktu krisis ekonomi pembatik-pembatik Tegal ikut lesu dan baru giat kembali sekitar tahun 1934 sampai permulaan perang dunia kedua. Waktu Jepang masuk kegiatan pembatikan mati lagi.

Demikian pila sejarah pembatikan di Purworejo bersamaan adanya dengan pembatikan di Kebumen yaitu berasal dari Yogyakarta sekitar abad ke-XI. Pekembangan kerajinan batik di Purworejo dibandingkan dengan di Kebumen lebih cepat di Kebumen. Produksinya sama pula dengan Yogya dan daerah Banyumas lainnya.

Sedangkan di daerah Bayat, Kecamatan Tembayat Kebumen-Klaten yang letaknya lebih kurang 21 Km sebelah Timur kota Klaten. Daerah Bayat ini adalah desa yang terletak dikaki gunung tetapi tanahnya gersang dan minus. Daerah ini termasuk lingkungan Karesidenan Surakarta dan Kabupaten Klaten dan riwayat pembatikan disini sudah pasti erat hubungannya dengan sejarah kerajaan kraton Surakarta masa dahulu. Desa Bayat ini sekarang ada pertilasan yang dapat dikunjungi oleh penduduknya dalam waktu-waktu tertentu yaitu “makam Sunan Bayat” di atas gunung Jabarkat. Jadi pembatikan didesa Bayat ini sudah ada sejak zaman kerjaan dahulu. Pengusaha-pengusaha batik di Bayat tadinya kebanyakan dari kerajinan dan buruh batik di Solo.

Sementara pembatikan di Kebumen dikenal sekitar awal abad ke-XIX yang dibawa oleh pendatang-pendatang dari Yogya dalam rangka dakwah Islam antara lain yang dikenal ialah: PenghuluNusjaf. Beliau inilah yang mengembangkan batik di Kebumen dan tempat pertama menetap ialah sebelah Timur Kali Lukolo sekarang dan juga ada peninggalan masjid atas usaha beliau. Proses batik pertama di Kebumen dinamakan teng-abang atau blambangan dan selanjutnya proses terakhir dikerjakan di Banyumas/Solo. Sekitar awal abad ke-XX untuk membuat polanya dipergunakan kunir yang capnya terbuat dari kayu. Motif-motif Kebumen ialah: pohon-pohon, burung-burungan. Bahan-bahan lainnya yang dipergunakan ialah pohon pace, kemudu dan nila tom.

Pemakaian obat-obat import di Kebumen dikenal sekitar tahun 1920 yang diperkenalkan oleh pegawai Bank Rakyat Indonesia yang akhimya meninggalkan bahan-bahan bikinan sendiri, karena menghemat waktu. Pemakaian cap dari tembaga dikenal sekitar tahun 1930 yang dibawa oleh Purnomo dari Yogyakarta. Daerah pembatikan di Kebumen ialah didesa: Watugarut, Tanurekso yang banyak dan ada beberapa desa lainnya.

Dilihat dengan peninggalan-peninggalan yang ada sekarang dan cerita-cerita yang turun-temurun dari terdahulu, maka diperkirakan didaerah Tasikmalaya batik dikenal sejak zaman “Tarumanagara” dimana peninggalan yang ada sekarang ialah banyaknya pohon tarum didapat disana yang berguna un-tuk pembuatan batik waktu itu. Desa peninggalan yang sekarang masih ada pembatikan dikerja-kan ialah: Wurug terkenal dengan batik kerajinannya, Sukapura, Mangunraja, Maronjaya dan Tasikmalaya kota.

Dahulu pusat dari pemerintahan dan keramaian yang terkenal ialah desa Sukapura, Indihiang yang terletak dipinggir kota Tasikmalaya sekarang. Kira-kira akhir abad ke-XVII dan awal abad ke-XVIII akibat dari peperangan antara kerajaan di Jawa Tengah, maka banyak dari penduduk daerah: Tegal, Pekalongan, Ba-nyumas dan Kudus yang merantau kedaerah Barat dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya. Sebagian besar dari mereka ini adalah pengusaha-pengusaha batik daerahnya dan menuju kearah Barat sambil berdagang batik. Dengan datangnya penduduk baru ini, dikenallah selanjutnya pembutan baik memakai soga yang asalnya dari Jawa Tengah. Produksi batik Tasikmalaya sekarang adalah campuran dari batik-batik asal Pekalongan, Tegal, Banyumas, Kudus yang beraneka pola dan warna.

Pembatikan dikenal di Ciamis sekitar abad ke-XIX setelah selesainya peperangan Diponegoro, dimana pengikut-pengikut Diponegoro banyak yang meninggalkan Yogyakarta, menuju ke selatan. Sebagian ada yang menetap didaerah Banyumas dan sebagian ada yang meneruskan perjalanan ke selatan dan menetap di Ciamis dan Tasikmalaya sekarang. Mereka ini merantau dengan keluargany a dan ditempat baru menetap menjadi penduduk dan melanjutkan tata cara hidup dan pekerjaannya. Sebagian dari mereka ada yang ahli dalam pembatikan sebagai pekerjaan kerajinan rumah tangga bagi kaum wanita. Lama kelamaan pekerjaan ini bisa berkembang pada penduduk sekitarnya akibat adanya pergaulan sehari-hari atau hubungan keluarga. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, dan sebagainya.

Motif batik hasil Ciamis adalah campuran dari batik Jawa Tengah dan pengaruh daerah sendiri terutama motif dan warna Garutan. Sampai awal-awal abad ke-XX pembatikan di Ciamis berkembang sedikit demi sedikit, dari kebutuhan sendiri menjadi produksi pasaran. Sedang di daerah Cirebon batik ada kaintannya dengan kerajaan yang ada di aerah ini, yaitu Kanoman, Kasepuahn dan Keprabonan. Sumber utama batik Cirebon, kasusnya sama seperti yang di Yogyakarta dan Solo. Batik muncul lingkungan kraton, dan dibawa keluar oleh abdi dalem yang bertempat tinggal di luar kraton. Raja-raja jaman dulu senang dengan lukisan-lukisan dan sebelum dikenal benang katun, lukisan itu ditempatkan pada daun lontar. Hal itu terjadi sekitar abad ke-XIII. Ini ada kaitannya dengan corak-corak batik di atas tenunan. Ciri khas batik Cirebonan sebagaian besar bermotifkan gambar yang lambang hutan dan margasatwa. Sedangkan adanya motif laut karena dipengaruhioleh alam pemikiran Cina, dimana kesultanan Cirebon dahulu pernah menyunting putri Cina. Sementra batik Cirebonan yang bergambar garuda karena dipengaruhi oleh motif batik Yogya dan Solo.

(Di kutip dari artikel Linggageni, artikel batik yogjakarta, dan beberapa artikel mengenai batik Indonesia)

Apa Sebenarnya “Sastro Jendro Hayu ningrat Pangruwating Diyu”??


Di dalam berbagai literatur jawa banyak menceritakan dan menyebutkan bahwa ajaran dan ilmu tertinggi dari laku orang jawa adalah Sastra Jendra. Banyak sekali saya jumpai dari pemahaman banyak orang bahwasanya Ajaran yang terbilang Sinengker (sangat rahasia dan wingit) ini sudah banyak diterjemahkan oleh banyak pujangga. Tidak hanya para Dhalang, tapi Pujangga kraton juga menterjemahkan. Lalu, sebenarnya apa ajaran Sastra Jendra ini? Dan untuk apa? Kenapa sastra jendra ini muncul? Apalagi munculnya di tanah jawa, seperti halnya munculnya kata-kata Prabu Jayabaya mengenai Satrio Piningit yang sampai sekarang menjadi Kepercayaan banyak masayarakat di jawa.

Disini saya tidak akan membahas ilmu sejati sastra jendra hayu ningrat pangruwating diyu. Tapi saya akan memnberikan wacana sastra jendra dari beberapa versi.

Dalam Kitab Primbon Attashadur Adammakna pada Bab Aji Pameleng, dijelaskan bahwa siapa yang menguasai Aji Pameleng (samadi) akan mendapat wisikan Ghaib berupa Sastra Jendra. Secara Etimologi, Sastra artinya ajaran, Jendra artinya Rahasia/sinengker, Hayu artinya keselamatan/makmur, ningrat artinya bumi, pangruwating artinya meruwat atau membersihkan, diyu artinya raksasa. Diterangkan dalam kamus Indonesia-Sansekerta bahwa artinya adalah Ajaran rahasia untuk membawa keselamatan alam semesta dan bisa untuk meruwat raksasa.

Makanya siapapun yang mengetahui ajaran ini, diibaratkan bagaikan raksasa jadi manusia, sudra jadi brahmana, bodoh jadi pinter, miskin jadi kaya, dan sangat banyak lagi perubahan yang ada. Karna ajaran ini sama halnya dengan ajaran perubahan luar biasa. Dan orang yang bisa menguasai ajaran ini adalah orang yang bisa melakukan Aji Pameleng, dengan melakukan Laku Samadi, Nutupi babagan Hawa Sanga, dsb.

Dalam pewayangan yang dilakukan Dhalang di suatu lakon, menceritakan bagaimana Begawan Wisrawa yang jika menceritakan Sastra Jendra ini dia harus meninggalkan gemerlapan kekuasaan dan kekayaan. Sang Dewi Sukesi yang putra dari Pabru Sumali dijelaskan karna untuk urusan pernikahan. Ini disebabkan pura bagawan Wisrawa yang hanya mencintai Dewi Sukesi itu membuat Negara tidak makmur dan kurang memikirkan bangsa.

Begawan Wisrawa pun mengajarkan hakekat dari Sastra Jendra pada Dewi Sukesi, (dalam pewayangan tidak diceritakan apa sebenarnya isi dari ajaran ini). Namun apa yang terjadi? Setelah mendapatkan ajaran tersebut, sungai Nil, Sungai Eufrat dan sungai Ciliwung sangat jernih airnya dan cocok untuk mandi. Selain itu Dewi Sukesi juga mengajarkan bagaimana cinta kasih antar sesame sesungguhnya, cinta kasih pada alam semesta, dan cinta kasih pada Sang Hyang Wisesa.

Yang diajarkan adalah jika cinta kita antara dua insan terjalin (Bertasbih atau menyatu) maka akan mudah dalam mengantarkan ajaran ini.

Bahkan dalam pewayangan juga disebutkan bahwa raksasa yang mendengar ajaran rahasia ini justru bisa berubah menjadi manusia.

Ada juga lakon pewayangan yang pernah di tulis oleh Sunan Kalijaga bahwasanya Ajaran Rahasia ini dimiliki oleh Puntadewa dengan senjatanya Jamus Kalimosodo. Sebenarnya, dalam lakon wayang (artinya adalah ayang-ayang) Pandawa itu bagaikan Rukun Islam. Pertama Puntadewa dengan senjata Jamus Kalimosodo (Kalimat Syahadat), Werkudoro dengan melambangkan shoalat yang senjata terkenalnya Kuku Pancanaka (panca berarti lima, artinya shalat 5 waktu), dan seterusnya.

Dalam jamus kalimasada yang berupa ajaran sastra jendra ini, memang kalimat syahadat bagi orang islam yang benar-benar memahami islam akan tercengan untuk merenunginya. 2 kalimat persaksian bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad sebagai Utusan Allah. Padahal syarat orang bersaksi adalah mengetahui dan pernah tahu. Namun, kenapa agama memerintahkan untuk bersaksi padahal kita belum pernah tahu Allah dan RasulNya. Inilah yang membuat ajaran islam juga snagat perlu dikaji lebih dalam oleh para pengikutnya.

Oleh karena itulah sastra jendra dianggap ajaran yang sinengker dan perlu pemahaman dalam untuk mengetahui hakekat sebenarnya.

Pernah membaca tulisan seorang pujangga dari Surakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsito. Bahwasanya menyikapi hal ini, dia membagi-bagi ajaran sastra jendra ke beberapa aspek. Seperti halnya ajaran Rahasia untuk meruwat alam semesta, ajaran rahasia untuk meruwat kelestarian makhluk hidup, ajaran rahasia untuk meruwat dan membersihkan bumi, dan lain sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah para orang jawa yang belajar bagaimana memahami kehidupan ini. Bahkan, dari berbagai ilmu yang dia dapatkan, akhirnya beliau menuliskan pada salah satu kitab yang terkenal dengan nama Wirid Hidayat Jati. Wirid ini mencangkup segala ilmu yang ada yang dahulunya berasal dari para wali, namun kebanyakan orang memahaminya menjadi sebuah aliran kejawen. Tidak heran jika seperrti Sunan kalijaga dianggap juga sebagai aliran islam-kejawen (abangan) padahal sejarah yang membuktikan tidak seperti itu.

Dari sisi sini saja masih sedikit pembahasan mengenai Sastra Jendra Hayu Ningrat Pangruwating Diyu. Lalu apa makna sebenarnya (makna sejati) dibalik munculnya Ajaran yang dianggap Sinengker ini?? Silakan pembaca merenunginya.

Ngelmu iku, Kelakone kanthi laku.

Lekase Lawan Khas.

Tegese Khas nyantosani.

Sedya Buda Pangekesing Dur Angkara.

(pupuh Pucung, serat Wedhatama)


Ki Enthung